Pengertian
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson, 2007 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
B. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).
C. Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus
(HIV) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar
200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) muncul, jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
D. Manifestasi Klinis
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis e. Demensia/HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita h. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda- tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. Gejala Minor
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan mengikut fasenya.
1) Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak
70% dari penderita HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2) Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk
ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3) Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
E. Komplikasi
Komplikasi primer :
MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder
Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati)
Infeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV
Leikoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)
F. Pemeriksaan Penunjang
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang lain dengan mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan protein yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi sampai sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6 minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski,
2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzyme- linked immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu setelah infeksi. Walaupun hasil tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan tes Western blot sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah
diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas nitroselulosa, dan ia bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan berikatan dengan protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna mengungkapkan adanya antibodi HIV dalam serum pasien yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes OraQuick adalah tes lain yang menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus, manakala polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi “proviral DNA”. HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran HIV ketika ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa minggu pertama setelah infeksi, sebelum antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi ibunya merumitkan tes lain (Swierzewski, 2010).
G. Penatalaksanaan
1) Obat-obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
a) Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
b) Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memper- lambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse trans- criptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel-sel. Obat-obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
c) Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
2) Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT) : seorang wanita yang mengidap HIV (+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV (+) akan terinfeksi kira-kira 25% - 35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak.
Obat-obatan tersebut adalah :
a) Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14-28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi
50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b) Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2-3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3) Post-exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang
30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obat-obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif
100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.
4) Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan
secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks,
2005).
5) Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis
H. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas : spasme jalan nafas, sekresi tertahan, banyaknya mukus
2. Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan energi, kelelahan, nyeri, kecemasan
3. Hipertermia b.d proses penyakit, peningkatan metabolisme, dehidrasi
4. Nyeri b.d agen injury biologis
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d ketidak- mampuan pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis, psikologis
6. Kekurangan volume cairan b.d kegagalan mekanisme pengaturan
7. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan status metabolik
8. Resiko infeksi dengan factor resiko prosedur Infasif, malnutrisi, imonusupresi, ketidakadekuatan imun buatan, tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi), tidak adekuat pertahanan tubuh primer
9. Deficit perawatan diri b.d kelemahan fisik
10. Ketidakefektifan mekanisme koping keluarga b.d kemampuan dalam mengaktualisasi diri
11. Defisiensi Pengetahuan b.d kurangnya paparan atau informasi
I. Rencana Perawatan
NO | DIAGNOSA KEPERAWATAN | TUJUAN DAN KRITERIA HASIL (NOC) | INTERVENSI (NIC) |
1 | Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas : spasme jalan nafas, sekresi tertahan, banyaknya mukus | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x … jam diharapkan ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi NOC : - Respiratory status : Airway patency - Respiratory status : Ventilation Kriteria Hasil : - Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) - Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nfas abnormal) - Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) | NIC : Airway Suction (manajemen jalan nafas) Intervensi : - Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning - Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning - Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning - Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan - Gunakan alat yang streil setiap melakukan tindakan - Monitor status oksigen - Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction - Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2 NIC : Airway Management Intervensi : - Buka jalan nafas, gunakan teknik chinlift atau jaw thrust bila perlu - Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi |
59
- Identifikasi pasien perlunya pema- sangan alat jalan nafas buatan - Pasang mayo bila perlu - Lakukan fisioterapi dada jika perlu - Keluarkan secret dengan batuk atau suction - Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan - Lakukan suction pada mayo - Berikan bronkodilator bila perlu - Monitor respirasi dan status oksigen | |||
2 | Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan energi, kelelahan, nyeri, kecemasan | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... jam diharapkan ketidakefektifan pola jalan nafas teratasi NOC : - Respiratory status : Ventilation - Respiratory status : Airway patency Kriteria Hasil : - Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) - Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi | NIC : Airway Suction Intervensi : 1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning. 3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan. 5. Berikan O2 dengan mengguna- kan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal 6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat |
60
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) - Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas | dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal 8. Monitor status oksigen pasien 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion 10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll NIC : Airway Management Intervensi : 1. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan 4. Pasang mayo bila perlu 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 8. Lakukan suction pada mayo 9. Berikan bronkodilator bila perlu 10. Monitor respirasi dan status O2 |
61
3 | Hipertermia b.d proses penyakit, peningkatan metabolisme, dehidrasi | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatn selama ... x ... jam diharapkan hipertermi teratasi NOC : Thermoregulation Kriteria Hasil : Suhu tubuh dalam rentang normal Nadi dan RR dalam rentang normal Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman | NIC : Fever Treatment Intervensi : 1. Monitor suhu sesering mungkin 2. Monitor IWL 3. Monitor warna dan suhu kulit 4. Monitor tekanan darah, nadi dan RR 5. Monitor penurunan tingkat kesadaran 6. Monitor WBC, Hb, dan Hct 7. Monitor intake dan output 8. Berikan anti piretik 9. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam 10. Selimuti pasien 11. Lakukan tapid sponge 12. Berikan cairan intravena 13. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila 14. Tingkatkan sirkulasi udara 15. Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil NIC : Temperature regulation 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam 2. Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu 3. Monitor TD, nadi, dan RR 4. Monitor warna dan suhu kulit |
62
5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi 6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi 7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh 8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas 9. Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan 10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan 11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan 12. Berikan anti piretik jika perlu NIC : Vital sign Monitoring 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR 2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah 3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri 4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan 5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, |
63
selama, dan setelah aktivitas 6. Monitor kualitas dari nadi 7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan 8. Monitor suara paru 9. Monitor pola pernapasan abnormal 10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit 11. Monitor sianosis perifer 12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) 13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign | |||
4 | Nyeri akut b.d agen injury bidologis | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... diharapkan nyeri teratasi NOC : - Pain Level, - Pain control - Comfort level Kriteria hasil : - Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) | NIC : Pain Management Intervensi : 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri |
64
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri - Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) - Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang - Tanda vital dalam rentang normal | 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal) 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 13. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 15. Tingkatkan istirahat 16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri |
65
tidak berhasil 17. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri NIC : Angalsic Administration Intervensi : 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat 2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi 3. Cek riwayat alergi 4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu 5. Tentukan pilihan analgesik ter- gantung tipe dan beratnya nyeri 6. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal 7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur 8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali 9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat 10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping) |
66
5 | Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis, psikologis | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... diharapkan nutrisi seimbang NOC : - Nutritional status : - Nutritional status : food and fluid intake - Nutritional status : nutrient intake weight control Kriteria hasil : - Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan - Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan - Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi - Tidak ada tanda tanda malnutrisi Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti | NIC : Nutrition Management Intervensi : 1. Kaji adanya alergi makanan 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien. 3. Anjurkan pasien untuk mening- katkan intake Fe 4. Anjurkan pasien untuk mening- katkan protein dan vitamin C 5. Berikan substansi gula 6. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi 7. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi) 8. Ajarkan pasien bagaimana mem- buat catatan makanan harian. 9. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori 10. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi 11. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan |
6 | Kekurangan volume cairan b.d kegagalan mekanisme pengaturan | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... diharapkan kekurangan volume | NIC : Fluid Management Intervensi : |
67
teratasi NOC : - Fluid balance - Hydration - Nutritional Status : Food and Fluid Intake Kriteria hasil : - Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal - Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal - Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan - | 1. Timbang popok/pembalut jika diperlukan 2. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat 3. Monitor status hidrasi (kelembab- an membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan 4. Monitor vital sign 5. Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian 6. Lakukan terapi IV 7. Monitor status nutrisi 8. Berikan cairan 9. Berikan cairan IV pada suhu ruangan 10. Dorong masukan oral 11. Berikan penggantian nesogatrik sesuai output 12. Dorong keluarga untuk memban- tu pasien makan 13. Tawarkan snack ( jus buah, buah segar) 14. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk 15. Atur kemungkinan tranfusi 16. Persiapan untuk tranfusi |
68
7 | Kerusakan integritas kulit b.d perubahan status metabolik | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x … jam diharapkan kerusakan integritas kulit teratasi NOC : - Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes - Hemodyalis akses Kriteria hasil : Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi) Tidak ada luka/lesi pada kulit Perfusi jaringan baik Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami - | NIC : Pressure Management Intervensi : - Anjurkan pasien untuk menggu- nakan pakaian yang longgar - Hindari kerutan pada tempat tidur - Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering - Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali - Monitor kulit akan adanya kemerahan - Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan - Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien - Monitor status nutrisi pasien NIC : Insision site care Intervensi : - Membersihkan, memantau dan eningkatkan proses penyembuhan pada luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau streples - Monitor proses kesembuhan area insisi - Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi - Bersihkan area sekitar jahitan atau straples, menggunakan lidi kapas |
69
steril - Gunakan preparat antiseptic, sesuai program - Ganti balutan pada interval aktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka (tidak dibalut) sesuai program NIC : Dialysis Acces Maintenance | |||
8 | Resiko infeksi dengan faktor resiko prosedur Infasif, malnutrisi, imonusupresi , ketidakadekuatan imun buatan , tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi), tidak adekuat pertahanan tubuh primer | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... diharapkan resiko infeksi teratasi NOC : Immune Status Knowledge : Infection control Risk control Kriteria Hasil : Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya, Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi Jumlah leukosit dalam batas normal Menunjukkan perilaku hidup sehat | NIC : Infection Control (Kontrol infeksi) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain Pertahankan teknik isolasi Batasi pengunjung bila perlu Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan |
70
petunjuk umum Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing Tingkatkan intake nutrisi Berikan terapi antibiotik bila perlu NIC : Infection Protection (proteksi terhadap infeksi) Intervensi : Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal Monitor hitung granulosit, WBC Monitor kerentanan terhadap infeksi Batasi pengunjung Saring pengunjung terhadap penyakit menular Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko Pertahankan teknik isolasi k/p Berikan perawatan kuliat pada area epidema Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase Ispeksi kondisi luka/insisi bedah Dorong masukkan nutrisi yang |
71
cukup Dorong masukan cairan Dorong istirahat Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi Ajarkan cara menghindari infeksi Laporkan kecurigaan infeksi Laporkan kultur positif | |||
9 | Deficit perawatan diri b.d kelemahan fisik | Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... diharapkan defisit perawatan diri teratasi NOC : Self care : Activity of Daily Living (ADLs) Kriteria Hasil : Klien terbebas dari bau badan Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs Dapat melakukan ADLS dengan bantuan | NIC : Self Care assistane : ADLs Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan. Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care. Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki. Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya. Ajarkan klien/ keluarga untuk |
72
mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya. Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari. | |||
10 | Ketidakefektifan mekanisme koping keluarga b.d kemampuan dalam mengaktualisasi diri | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... jam diharapkan ketidakmampuan koping keluarga teratasi NOC : - Family Coping, Disable - Parenting, Impaired - Theraputic Regimen Management, Ineffective - Violence : Other Directed, Risk for Kriteria Hasil : - Hubungan pemberi Asuhan Pasien : interaksi dan hubungan yang positif antara pemberi dan penerima asuhan perawatan - Performa pemberi asuhan perawatan langsung : penyediaan perawatan kesehatan dan perawatan personal - Performa pemberi asuhan perawatan tidak langsung : pengaturan dan pengawasan | NIC : Coping Enhanchement Intervensi : 1. Bantu keluarga dalam mengenal masalah (misalnya penatalaksanaan konflik kekerasan, kekerasan seksual) 2. Dorong partisipasi keluarga dalam semua pertemuan kelompok 3. Dorong keluarga keluarga untuk memperlihatkan kekhawatiran dan untuk membantu merencanakan perawatan pasca hospitalisasi 4. Bantu memotivasi keluarga untuk berubah 5. Membantu pasien beradaptasi dengan persepsi stresor, perubahan, atau ancaman yang |
73
perawatan yang sesuai bagi anggota keluarga oleh pemberi perawatan keluarga - Kesejahteraan pemberi asuhan : derajat persepsi positif mengenai status kesehatan dan kondisi kehidupan pemberi perawatan primer - Potensial ketahanan pemberi asuhan : perawatan oleh pemberi perawatan keluarga oleh pemberi perawatan keluarga dalam periode waktu yang lama - Koping keluarga : tindakan keluarga untuk mengelola stresor yang membebani sumber- sumber keluarga - Normalisasi keluarga : kapasistas system keluarga dalam mempertahankan rutinitas dan mengembangkan strategi untuk mengoptimalkan fungsi jika ada anggota keluarga yang sakit kronis atau mengalami ketunandayaan - Mampu mengatasi masalah keluarga - Mencari bantuan keluarga jika perlu - Mencapai stabilitas finansial untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga - Mampu menyelesaikan konflik tanpa kekerasan - Memperlihatkan fleksibilitas peran - Mengungkapkan peningkatan kemampuan untuk melakukan koping terhadap perubahan | menganggu pemenuhan tuntutan dan peran hidup 6. Dukungan emosi : memberikan penenangan, penerimaan, dan dorongan selama periode stress 7. Memfasilitasi partisipasi keluarga dalam perawatan emosi dan fisik pasien 8. Dukungan keluarga : meningkatkan nilai, minat dan tujuan keluargapanduan sistem kesehatan : memfasilitasi lokal pasien dan penggunaan pelayanan kesehatan yang sesuai 9. Mendorong pasien ikut dalam aktivitas sosial dan komunitas 10. Mendorong pasien mencari dorongan spiritual, jika diperlukan 11. Bantu anggota keluarga dalam mengklarifikasi apa yang mereka harapkan dan butuhkan satu sama lain NIC : Caregiver Support Intervensi : 1. Menyediakan informasi penting, advokasi dan dukungan yang dibutuhkan untuk memfasilitasi |
74
dalam struktur dan dinamika keluarga - Mengungkapkan perasaan yang tidak terselesaikan - Identifikasi gaya koping yang bertentangan - Partisipasi dalam pengembangan dan implementasi rencana perawatan | perawatan primer pasien selain dari profesional kesehatan NIC : Family Support | ||
11 | Defisiensi Pengetahuan b.d kurangnya paparan atau informasi | Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x ... diharapkan defisiensi pengetahuan teratasi NOC : - Kowlwdge : disease process - Kowledge : health Behavior Kriteria hasil : - Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan - Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar - Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya | NIC : Teaching : disease Process Intervensi : 1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat. 3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat 4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat 5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat 6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat 7. Hindari harapan yang kosong 8. Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan |
75
pasien dengan cara yang tepat 9. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit 10. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan 11. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan 12. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat 13. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat 14. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat |
76
PATHWAY
0 Komentar