A. Klasifikasi Cedera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale)
Tabel 1. Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala berdasarkan Nilai Skala Koma Glasgow (SKG)
Kategori | Deskripsi |
Minor/ Ringan | SKG 13 – 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma |
Sedang | SKG 9 – 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. |
Berat | SKG 3 – 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial |
Sumber :Keperawatan Kritis, Pendekatan Holostik vol, II tahun 1995, hal:226
Tabel 2. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)
1. Membuka Mata Spontan Terhadap rangsang suara Terhadap nyeri Tidak ada |
4 3 2 1 |
2. Respon Verbal Orientasi baik orientasi terganggu Kata-kata tidak jelas Suara Tidak jelas Tidak ada respon |
5 4 3 2 1 |
3. Respon Motorik Mampu bergerak Melokalisasi nyeri Fleksi menarik Fleksi abnormal Ekstensi Tidak ada respon |
6 5 4 3 2 1 |
Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi:
1. Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung kurang dari 30 menit.
2. Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
3. Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat masuk rumah sakit merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).
B. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
1. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
2. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemia dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak dan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotransmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dijumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosis respiratorik.
C. Tipe Trauma Kepala
1 . Trauma kepala terbuka
a. Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan.
b. Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.
c. Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
d. Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital.
e. Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3 hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve pathway).
2. Trauma kepala tertutup
a. Komotio serebri (gegar otak)
Penyebab gejala komotio serebri belum jelas. Akselerasi-akselerasi yang meregangkan otak dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis yang banyak dianut. Setelah penurunan kesadaran beberapa saat pasien mulai bergerak, membuka matanya tetapi tidak terarah, reflek kornea, reflek menelan dan respon terhadap rasa sakit yang semula hilang mulai timbul kembali. Kehilangan memori yang berhubungan dengan waktu sebelum trauma disebut amnesia retrograde. Amnesia post traumatic ialah kehilangan ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia traumatic terdiri dari amnesia retrograde dan post traumatic.
b. Edema serebri traumatic
Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meningkat.
c. Kontusio serebri
Kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak.
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).
d. Perdarahan Intrakranial
1) Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada region temporal atau temporopariental akibat pecahnya anteri meningea media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progesif disertai kelainan neurologis unilateral. Kemudian gejala neurologis timbul secara progesif berupa pupil anisokor, hemiparese, papiledema dan gajala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural di fossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebelar dan paresis nervi kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
2) Perdarahan Subdural
Terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan subdural lebih biasa terjasi perdarahan epidural (30 % dari cedera kepala berat). Umumnya perdarahan akibat pecahnya/robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek serebri dan sinus venosa tempat vena tadi bermuara, namun dapat pula terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaaan otak.
Gejala yang sub akut tidak sejelas yang gejala akut. Perdarahan subdural menjadi simptomatik dalam 3 hari disebut akut, jika gejala timbul antarqa 3 sampai 21 hari disebut subakut, sedangkan lebih dari 21 hari disebut kronik.
Gejala yang paling sering pada akut adalah nyeri kepala, mengantuk, agitasi cara berpikir yang lambat dan bingung. Gejala yang paling sering pada kronik adalah nyeri kepala yang semakin berat, cara berpikir yang lambat, bingung, mngantuk. Pupil edema dapat terjadi dan pupilipsilateral dilatasi dan refleka cahaya menurun, Hemiparese sebagai tanda akhir biasa ipsilateral atau kontralateral tergantung pada a[akah lobus temporal mengalami herniasi melalui celah tentorum dan menekan pendukulus serebri kontralateral.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosinyapun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
3) Perdarahan subarahnoid
Perdarahan subaranoid sering terjadi pada trauma kapitis. Secara klinis mudah dikenali yaitu ditemukannya kaku kuduk, nyeri kepala, gelisah, suhu badan subfebril.
Gejalanya menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai koma. Pedarahan terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh darah yang berjalan didalamnya. darah tercampur dengan cairan otak. Adanya darah didalam liquor serebri spinal akan merangsang meningia sehingga terjadi kaku kuduk.
D. Manifestasi Klinis
1. Gangguan kesadaran
2. Konfusi
3. Abnormalitas pupil
4. Awitan tiba-tiba defisit neurologik
5. Perubahan tanda vital
6. Gangguan penglihatan dan pendengaran
7. Disfungsi sensory
8. Kejang otot
9. Sakit kepala
10. Vertigo
11. Gangguan pergerakan
12. Kejang
E. Evaluasi Diagnostik
1. CT scan
2. MRI
3. Angiografi cerebral
F. Penatalaksanaan
1. Tindakan terhadap peningkatan TIK
a. pemantauan TIK dengan ketat
b. oksigenasi adekuat
c. pemberian mannitol
d. penggunaan steroid
e. peningkatan kepala tempat tidur
f. bedah neuro
2. Tindakan pendukung lain
a. dukungan ventilasi
b. pencegahan kejang
c. pemeliharan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi
d. terapi antikonvulsan
e. klorpromazin untuk menenangkan pasien
f. selang nasogastrik
G. Proses Penatalaksanaan pada Trauma Kepala dengan Tindakan Bedah Saraf:
Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf, merupakan proses yang terdiri dari serangkaian tahapan yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga sampai pada pengambilan putusan untuk melakukan tindakan pembedahan. Dalam hal ini meliputi 4 tahapan, tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1. Tahap I
a. Penilaian awal dan Pertolongan pertama
Penilaian awal, prioritas penilaian :
1) Airway
2) Breathing
3) Circulation
4) Periksa adanya kemungkinan kelainan atau perdarahan
5) Tentukan hal-hal sebagai berikut:
§ Lamanya tak sadar
§ Lamanya amnesia post-trauma
§ Sebab-sebab cedera
§ Adanya nyeri kepala, muntah
6) Pemeriksaan fisik umum dan neurologik
Pertolongan pertama yang segera dilakukan bila terjadi gangguan pernafasan, sirkulasi dan atau gangguan kesadaran:
7) Membebaskan jalan nafas agar tetap terbuka dan bebas
8) Mengontrol atau mengendalikan perdarahan
9) Menanggulangi renjatan (shock)
10) Monitor EKG
b. Diagnosis
1) Pemeriksaan Laboratorium
Hb, hematokrit, eritrosit, lekosit, trombosit, elektrolit, gula darah, BUN, ureum, kreatinin, masa perdarahan dan penjendalan, golongan darah dan AGD.
2) Pemeriksaan penunjang yang khusus
§ Foto kepala
§ Foto servikal
§ Pada trauma multiple perlu dilakukan foto abdomen dan ekstremitas
§ Angiografi Serebral
§ CT scan
§ Burr holes/trepanasi eksplorasi
c. Indikasi Konsultasi Bedah Saraf (Teddy & Anslew, 1989)
1) Coma yang berlangsung lebih dari 6 jam
2) Penurunan kesadaran atau gangguan neurologik progresif
3) Penderita belum sadar kembali setelah dirawat 24 jam
4) Adanya tanda-tanda neurologik fokal, termasuk yang sudah ada sejak saat terjadinya cedera kepala.
5) Adanya kejang fokal atau umum setelah trauma.
6) Fraktur impresi terbuka / tertutup
7) Perdarahan intrakranial
2. Tahap II
Observasi perjalanan klinis dan Perawatan suportif
3. Tahap III
a. Indikasi pembedahan
1) Perlukaan pada kulit kepala
2) Fraktur tulang kepala
3) Hematoma intrakranial
4) Kontusio jaringan otak yang mempunyai diameter > 1 cm dan atau laserasi otak
5) Subdural higroma
6) Kebocoran cairan serebrospinal
b. Kontaindikasi
1) Adanya tanda-tanda renjatan (Shock), ini biasanya bukan karena trauma kepalanya tetapi karena sebab-sebab lain, misalnya ruptur alat viscera (Hepar, lien, ginjal) atau fraktur berat pada ekstremitas.
2) Penderita dengan trauma kepala yang pada waktu masuk rumah sakit pupil sudah dilatasi maksimal dan reaksi cahaya negatif, denyut nadi dan respirasi irregular.
c. Tujuan Pembedahan
1) Untuk mengeluarkan bekuan darah dan atau jaringan otak yang nekrotik
2) Untuk mengangkat bagian tulang yang menekan atau masuk ke jaringan otak
3) Untuk mengurangi tekanan intrakranial
4) Untuk mengontrol perdarahan
5) Untuk menutup durameter atau memperbaiki durameter yang rusak
6) Menutup defek pada kulit kepala untuk mencegah infeksi atau untuk kepentingan segi kosmetik.
d. Persiapan Pembedahan
1) Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas
2) Pasang infus
3) Observasi tanda-tanda vital
4) Pemeriksaan laboratorium
5) Pemberian antibiotik profilaksi
6) Pasang kateter
7) Pasang NGT
8) Terapi untuk menurunkan TIK
9) Pemberian antikonvulsan
4. Tahap IV
a. Pembedahan spesifik
1) Perlukaan pada kulit prinsipnya dilakukan “debridemen”
2) Pada lesi desak ruang intrakranial traumatic pada prinsipnya dilakukan kraniotomi yang cukup luasnya.
§ Pada Hematom Epidural biasanya dilakukan.
- Trepanasi
- Kraniotomi yang diperluas dengan kraniektomi
Bila diagnosa dengan CT scan yang menunjukkan lesi dengan jelas, cukup dengan kraniotomi yang terbatas. Pada epidural hematom yang lebih tebal <1,5 – 1 cm, belum perlu tindakan operasi.
§ Pada Hematom Subdural
Pada Hematom Subdural akut senantiasa diperlukan kraniotomi yang luas. Tindakan kraniektomi atau membuat lubang bur tidak dianggap cukup, ini hanya hematom subdural yang kronis.
§ Pada Hematom intraserebral dan kontusio serebri dengan efek massa yang jelas
Dilakukan tindakan kraniotomi yang cukup luas.
- Bila terdapat kontusio dengan diameter > 1 cm, dipermukaan korteks hendaknya diisap sampai batas jaringan otak yang sehat.
- Menimbulkan efek massa yang jelas
- Menyebabkan penyimpangan garis tengah > 4-5 mm
- Volume diperkirakan > 30 cc atau diameter > 3 cm
- Menunjukkan peninggian tekanan intrakarnial > 30 mmHg dan atau berkaitan dengan gangguan neurologik yang progresif.
Pada hematoma intraserebral yang kronis dapat dilakukan dengan trepanasi secara konvensional dan aspirasi.
§ Pada intraventrikuler hematoma
- Kraniotomi – aspirasi hematom
- Trepanasi – drenase ventrikuler
- Bila timbul tanda-tanda hidrosefalus, dilakukan ventrikulo-peri-toneal shunt.
Prognosis buruk bila GCS < 8 pada saat masuk dirawat. Bila GCS > 8 prognosis lebih baik kira-kira 86 % hidupnya tidak tergantung orang lain.
§ Pada subdural higroma
§ Pada Rhinorrhea
§ Pada Laserasi otak
§ Pada fraktur tulang kepala terbuka
§ Pada fraktur yang menekan tertutup
b. Evaluasi: komplikasi yang perlu diperhatikan:
1) Perdarahan ulang
2) Kebocoran cairan otak
3) Infeksi pada luka atau sepsis
4) Timbulnya edema serebri
5) Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
6) Nyeri kepala setelah penderita sadar
7) Konvulsi
c. Outcome
Outcome akibat trauma kepala, walaupun sudah dilakukan tindakan operasi tergantung beberapa factor diantaranya:
1) Saat dilakukan operasi
2) Tergantung pada penilaian tingkat kesadaran
3) Faktor usia
4) Tergantung tanda-tanda vital waktu masuk
5) Tergantung pada peninggian intrakranial
6) Tergantung pada factor hematom: jenis, sifatnya, volume dan lokalisasinya, misalnya:
§ Outcome epidural hematom dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya ada epidural hematomnya (Guillermann, 1996)
§ Volume hematom epidural (EDH)
EDH < 50 cc dengan mortalitas 12 %
EDH 50 – 100 cc dengan mortalitas 33 %
EDH > 100 cc dengan mortalitas 66 %
0 Komentar