Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi.
Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu. Donald, Saultz.
Residu urine setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml, jika residu urine ini lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan retensi urine.Ostergard’s.
Insiden terjadinya retensi urine post partum berkisar 1,7% sapai 17,9%. Secara umum penanganannya diawali dengan kateterisasi. Jika residu urine lebih dari 700 ml, antibiotik profilaksis dapat diberikan karena penggunaan kateter dalam jangka panjang dan berulang. Saultz Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami kelahiran normal sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari dasar kandung kemih dengan edema trigonum. Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia, pada gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih , dan trauma traktus genitalis, khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio cesaria.kapita, Saultz
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT
PENGERTIAN
Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika urinaria. (Kapita Selekta Kedokteran).
Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam akndung kemih, dapat terjadi secara akut maupun kronis. (Depkes RI Pusdiknakes 1995).
Retensio urine adlah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner & Suddarth).
Retensio urine adalah sutau keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak punya kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. (PSIK UNIBRAW).
PATOFISIOLOGI
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. emed void dis
Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra. emed void dis.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. emed void dis.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. emed void dis
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal.emed void dis.
Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis antara otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor.
Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan.
Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik.
Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi urethra
PATHWAY
ETIOLOGI
Berkemih yang normal melibatkan relaksasi uretra yang diikuti dengan kontraksi otot-otot detroser. Pengosongan kandung kemih secara keseluruhan dikontrol didalam pusat miksi yaitu diotak dan sakral. Terjadinya gangguan pengosongan kandung kemih akibat dari adanya gangguan fungsi di susunan saraf pusat dan perifer atau didalam genital dan traktus urinarius bagian bawah.Osterg
Pada wanita, retensi urine merupakan penyebab terbanyak inkontinensia yang berlebihan. Dalam hal ini terdapat penyebab akut dan kronik dari retensi urine. Pada penyebab akut lebih banyak terjadi kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot detrusor, atau ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih. Pada kasus yang retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal.
Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.
TANDA DAN GEJALA
Adapun tanda dan gejala atau menifestasi klinis pada penyakit ini adalah sebagai berikut:
· Diawali dengan urine mengalir lambat.
· Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan kandung kemih tidak efisien.
· Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
· Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
· Pada retensi berat bisa mencapai 2000 - 3000 cc.
GAMBARAN KLINIS
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih.
Suatu penelitian melaporkan bahwa gejala yang paling bermakna dalam memprediksikan adanya gangguan berkemih adalah pancaran kencing yang lemah, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna, mengedan saat berkemih, dan nokturia.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai berikut:
· Pemeriksaan specimen urine.
· Pengambilan: steril, random, midstream.
· Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit.
· Sistoskopy, IVP.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologik, jumlah urine yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume residu urine, sangat dibutuhkan.
Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding cystourethrography.
Dikatakan normal jika volume residu urine adalah kurang atau sama dengan 50ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari 200ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun volume residu urine antara 50-200ml menjadi pertanyaan, sehingga telah disepakati bahwa volume residu urine normal adalah 25% dari total volume vesika urinaria.
PENATALAKSANAAN
Ketika kandung kemih menjadi sangat menggembung diperlukan kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi.
Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 4 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urine minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 100 ml urine, drainase kandung kemih dilanjutkan lagi.
KOMPLIKASI
Karena terjadinya retensi urine yang berkepanjangan, maka kemampuan elastisitas vesica urinaria menurun, dan terjadi peningkatan tekanan intra vesika yang menyebabkan terjadinya reflux, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan USG pada ginjal dan ureter atau dapat juga dilakukan foto BNO-IVP.oestrgrd
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Aktivitas dan istirahat:
Tanda : kelemahan, keletihan, malaise
Gejala : kelemahan otot
2. Eliminasi:
Tanda : keluhan nyeri., gelisah, meringis, perilaku distraksi.
Gejala : poliuria, frekuensi miksi menurun, abdomen kembung, residu urine menurun.
3. Nyeri / kenyamanan:
Tanda : nyeri abdomen bagian bawah, kram otot / nyeri kaki, nyeri panggul.
Gejala : gelisah, perilaku berhati-hati.
4. Psikososial
Tanda : peningkatan ketegangan, ansietas, wajah tampak gelisah.
Gejala : malu, martabat hilang, kekhawatiran, mengekspresikan masalah tentang adanya perubahan, ketakutan akan konsekuensi yang tidak spesifik.
5. Pengetahuan
Tanda : pasien meminta adanya informasi, menyatakan masalah / indicator non verbal.
Gejala : tidak akurat mengikuti instruksi, terjadinya komplikasi, kurang berpartisipasi dalam pengobatan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN, INTERVENSI, DAN RASIONAL
Dx 1 : Retensi urine berhubungan dengan adanya hambatan urethra, kelemahan otot detrusor.
Tujuan dan KH :
Dapat berkemih dengan jumlah yang cukup dan tidak teraba distensi kandung kemih.
Intervensi keperawatan:
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 sampai 4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
Rasional : meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada kandung kemih.
2. Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional : berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
3. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih.
Rasional : retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal.
4. Dorong masukan cairan sampai 3000 ml/hari.
Rasional : peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
5. Awasi tanda-tanda vital.
Rasional : kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik.
6. Berikan obat-obatan antispasmodic.
Rasional : menghilangkan spasme kandung kemih.
Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan radang urethra, distensi bladder.
Tujuan dan KH :
Menyatakan nyeri hilang dan mampu untuk melakukan istirahat dengan tenang.
Intervensi keperawatan:
1. Kaji nyeri, lokasi dan intensitas.
Rasional : memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan / keefektivan intervensi.
2. Perhatikan tirah baring bila diindikasikan.
Rasional : tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
3. Masukkan kateter untuk kelancaran drainase.
Rasional : pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar.
4. Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi, contoh eperidin.
Rasional : untuk menghilangkan nyeri berat dan memberikan relaksasi mental dan fisik.
Dx 3 : Gangguan pola eliminasi urine berhubungan infeksi bladder, gangguan neurology, hilangnya tonus jaringan perianal, efek terapi.
Tujuan dan KH :
Setelah intervensi diharapkan berkemih dengan jumlah yang normal dan tanpa adanya retensi.
Intervensi keperawatan:
1. Kaji haluaran urine dan system kateter.
Rasional : retensi urine dapat terjadi karena adanya spasme kandung kemih.
2. Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran.
Rasional : berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema urethra dan kehilangan tonus.
3. Dorong pasien untuk berkemih bila terasa adanya dorongan.
Rasional : berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine.
4. Dorong pemasukan cairan sesuai toleransi.
Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
5. Intruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
Rasional : membantu meningkatkan control kandung kemih / sfinkter / urine.
Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan status kesehatan.
Tujuan dan KH :
1. Tampak rileks, menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
2. Menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takutnya.
Intervensi keperawatan:
1. Berikan informasi tentang prosedur dan apa yang akan terjadi, contoh kateter, iritasi kandung kemih.
Rasional : membantu pasien memahami tujuan dari apa yang akan dilakukan dan mengurangi masalah karena ketidak tahuan.
2. Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur atau menerima pasien.
Rasional : menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien.
3. Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah / perasaan.
Rasional : mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan dan solusi pemecahan masalah.
4. Beri informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
Rasional : memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan atau informasi.
Dx 5 : Resiko infeksi berhubungan dengan terpasangnya kateter urethra.
Tujuan dan KH :
Mencapai waktu penyembuhan dan tidak mengalami tanda infeksi.
Intervensi keperawatan:
1. Pertahankan system kateter steril, berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotic di sekitar sisi kateter.
Rasional : mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2. Awasi tanda - tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernafasan cepat, gelisah.
Rasional : untuk mengetahui hemodinamika pasien.
3. Observasi sekitar kateter suprapubik.
Rasional : kateter suprapubik meningkatkan resiko infeksi yang diindikasikan dengan eritema.
Dx 6 : Kurang pengetahuan tentang kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal informasi masalah tentang area sensitive.
Tujuan dan KH :
1. Menyatakan pemahaman proses penyakit.
2. Melakukan perubahan perilaku yang perlu.
3. Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi keperawatan:
1. Dorong pasien untuk menyatakan rasa takut dan atau perasaan perhatian.
Rasional : membantu pasien memahami perasaan dapat merupakan rehabilitasi vitas\l.
2. Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan tindakan atau evaluasi medik.
Rasional : intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius.
3. Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual.
Rasional : mungkin merupakan ketakutan yang tidak dibicarakan.
4. Anjurkan menghindari makanan berbumbu, kopi, dan minuman mengandung alkohol.
Rasional : peningkatan tiba-tiba pada aliran urine dapat menyebabkan distensi kandung kemih dan kehilangan tonus kandung kemih, mengakibatkan episode retensi urinaria akut.
EVALUASI
1. Proses berkemih menjadi normal kembali
2. Nyeri berkurang
3. Pola eliminasi normal kembali
4. Klien tidak lagi merasa cemas
5. Infeksi tidak terjadi
6. Pengetahuan tentang penyakit klien bertambah
BAB III
KESIMPULAN
Wanita dengan inkontinensia dan gejala gangguan kandung kemih yang lain meningkatkan resiko terjadinya kesulitan berkemih dan dan retensi. Akibat dari retensi adalah timbulnya infeksi traktus urinarius yang rekuren dengan kemungkinan gangguan pada traktus urinarius bagian atas. Pendeteksian terhadap kondisi tersebut merupakan hal yang penting dalam penanganan farmakologi dan pembedahan pada wanita dengan inkontinensia urine yang cenderung menjadi eksaserbasi kesulitan berkemih dan retensi kronik.
Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan.
Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik.
Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi urethra
DAFTAR PUSTAKA
Doenges E. Marilynn, Moorhouse Frances Mary, Geisster C Alice. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien Edisi 3. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahBrunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.
Mansyoer Arif, dkk. 2001. Kapita selekta kedokteran Jilid 1 Edisi ke tiga. Jakarta: Media Aesculapius.
Depkes RI Pusdiknakes. 1995. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan dan Penyakit Urogenital. Jakarta: Depkes RI.
4 Komentar
ikawitianjarsari99@gmail.com
BalasHapusdurrotun.bila@gmail.com
BalasHapusFarisakediri077@gmail.com
BalasHapusoke
BalasHapus